Sports

.

Rabu, 03 Desember 2025

Lonjakan Kasus Korupsi Kepala Desa, Kejagung Mulai Kewalahan

 

AK News - Kejaksaan Agung Republik Indonesia kembali dibuat sibuk oleh para kepala desa yang tampaknya lebih lihai menghitung dana desa daripada menghitung jumlah warganya. Lonjakan kasus korupsi ini bukan sekadar statistik, melainkan parade tahunan yang semakin meriah dari tahun ke tahun.  


Plt Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Sesjamintel), Sarjono Turin, mengungkapkan bahwa semester I tahun 2025 sudah mencatat 489 kasus yang melibatkan kepala desa. Angka ini melonjak bak harga cabai menjelang Lebaran—dan tampaknya belum ada tanda-tanda akan turun.  


Data Kasus dalam Tiga Tahun Terakhir

- 2023: 184 kasus (pemanasan)  

- 2024: 275 kasus (mulai serius)  

- Jan–Juni 2025: 489 kasus (level “festival korupsi desa”)  


Dari jumlah tersebut, 477 kasus adalah tindak pidana korupsi. Ada yang dilakukan secara kolektif—seperti di Kabupaten Lahat, di mana gotong royong rupanya lebih cocok untuk menggarong dana desa—dan ada pula yang dilakukan secara individu, seperti di Kabupaten Nganjuk, Jawa Timur, di mana kepala desa tampaknya lebih sibuk membangun “istana pribadi” daripada jalan desa.  


Tantangan Utama

- Desa terpencil yang sulit diawasi, seolah korupsi hanya bisa dihentikan dengan GPS dan drone.  

- Minimnya pengawasan internal, karena siapa yang mau mengawasi kalau semua ikut menikmati?  

- Dana desa yang besar, tapi sistem kontrolnya tipis—ibarat memberi kue besar tanpa piring, semua berebut dengan tangan kosong.  


Menurut Sarjono, pola korupsi yang paling sering ditemukan adalah penyalahgunaan dana desa, laporan fiktif, hingga penggelapan anggaran pembangunan. Dengan kata lain, pembangunan desa lebih sering terjadi di rekening pribadi ketimbang di tanah desa.  


Kejagung menegaskan akan memperkuat pengawasan serta mempercepat proses penindakan. Namun publik bertanya-tanya: apakah aparat benar-benar bisa mengejar para kepala desa yang sudah menjadikan korupsi sebagai “mata pencaharian alternatif”? Atau kita akan terus menyaksikan drama klasik: desa maju di atas kertas, tapi jalanan tetap berlubang, jembatan tetap roboh, dan masyarakat tetap menunggu janji yang tak kunjung ditepati.  (AAH)



Tidak ada komentar:
Write Comments