AK News - Air bah yang merendam rumah warga seharusnya menjadi momen solidaritas dan kepedulian. Namun di tengah jeritan korban banjir, muncul kisah yang lebih memilukan: internet darurat Starlink, yang digratiskan oleh Elon Musk untuk wilayah bencana Sumatra, justru dijadikan ajang pungutan liar oleh oknum tak bertanggung jawab.
Korban banjir mengaku dipaksa membayar Rp 20 ribu per jam, bahkan Rp 5 ribu hanya untuk lima menit sekadar mengirim pesan “Kami selamat.” Di saat mereka kehilangan rumah, harta, dan rasa aman, mereka juga kehilangan hak atas bantuan yang seharusnya gratis.
Unggahan warga di media sosial memicu gelombang protes. Publik menyebut praktik ini sebagai “bisnis air mata” yang memperjualbelikan penderitaan. Ironinya, Starlink sudah menegaskan bahwa layanan darurat diberikan tanpa biaya hingga akhir Desember. Namun di lapangan, oknum menjual akses seolah-olah milik pribadi, menjadikan musibah sebagai pasar gelap.
Tragedi ini semakin menyayat ketika warga juga melaporkan pungutan Rp 20 ribu per orang untuk melintasi jembatan darurat di Bener Meriah menuju Bireuen. Jalan evakuasi yang seharusnya menyelamatkan nyawa, berubah menjadi “tol pribadi” bagi otak korup yang berenang di tengah banjir.
Inilah wajah ironis masyarakat: air bah datang tanpa kompromi, tetapi otak pungli lebih cepat mengalir. Solidaritas tenggelam, sementara kreativitas oknum justru melahirkan tarif penderitaan. Korban bukan lagi manusia yang butuh pertolongan, melainkan konsumen yang harus membayar untuk sekadar bernapas lega.
Bencana alam seharusnya melahirkan empati, namun di tangan oknum, ia melahirkan ironi. Aparat diminta segera bertindak, karena tragedi terbesar bukanlah banjir itu sendiri, melainkan mentalitas pungli yang menjadikan musibah sebagai ladang keuntungan. (AAH)





Tidak ada komentar:
Write Comments